12/17/2013

Tulisan yang Berbicara



Mengingat masa lalu bersamamu itu aku jadi senyum-senyum sendiri. Indah. Iya indah, hampir tidak merasakan jenuhnya bersamamu. Berawal dari teman biasa, kakak-adik (-an) hingga akhirnya………

Malam itu (Malam Rabu), saat malam perayaan hari raya kita tepat pukul 22.44 WIB hingga keesokan harinya, tepatnya dini hari (Rabu dini hari) pukul 00.44 WIB, kamu menghubungi aku melalui tabletmu yang membuatmu sedikit kurang nyaman karena kamu tidak menggunakan perangkat tambahan. Akhirnya kamu memutuskan untukmemindahkan simcard yang ada di tablet ke telepon genggammu yang hanya digunakan untuk pesan singkat dan telepon. Aku pun menunggu dengan perasaan biasanya saja, karena kita sering komunikasi lewat pesan singkat atau pun berbicara langsung melalui telepon genggam kita. Namun, malam itu sedikit berbeda. Kita berbicara agak lama dari biasanya, karena topik pembahasaan kita saat begitu begitu menarik. Entah apa yang ada dipikiranmu dan pikiranku sehingga akhirnya kita memutuskan untuk menjalani hubungan yang lebih dari sekedar kakak adik.

Kamu mungkin tidak mengetahui bagaimana ekspresi wajahku saat itu. Lucu. Aku aja heran tiba-tiba tingkah laku aku seperti itu. Kamu tahu kenapa ? Karena kamu hadir dikehidupan aku. Selamat datang Kak, selamat menempati sisi ruang hatiku yang mungkin special untukmu. Karena kamu orang pertama yang menghuni ruangan ini. Jujur, awalnya aku ragu dan takut. Kenapa ? Aku ragu dengan perasaan kakak yang menurut aku itu datang tiba-tiba. Takut ? Iya aku takut buat kakak kecewa. Aku takut tidak bisa menjadi wanita terbaik untuk kakak. Melihat diri kakak yang begitu banyak pengalaman hidup, aku takut membuat kakak jenuh saat singgah diruangan ini.

Aktivitas di dalam “ruangan” pun dimulai. Saat aku mencoba untuk membiasakan diri untuk mengatakan “aku” jika aku berbicara dengan kakak. Dan sesungguhnya aku menikmati itu. It doesn’t matter for me.

Perbincangan melalui telepon genggam pun semakin intens. Kamu yang selalu menemaniku melalui pesan singkat disiang hari dan berbicara langsung melalui speaker dari telepon genggam kita yang menjadikan kita benar-benar dekat padahal jarak antara kamu dan aku tidak begitu dekat, beda kota. Suara bijakmu dibalik telepon genggamku dan suara cemprengku dibalik telepon genggammu. Itu mengobati rasa rinduku kepadamu. Pelaku dalam situasi seperti ini adalah….jarak. Namun, aku bersyukur saat itu kamu sibuk dengan organisasimu yang menuntutmu untuk bolak/I ke salah satu kota yang kebetulan itu tempat tinggalku saat ini. “Rinduku terobatiiii aaaaaaaaaa jhlehfaohfdjdghugj”, itu aku ilustrasikan betapa speechlessnya aku saat ersua denganmu. Jarak…oh…jarak. Waktu….oh…waktu.

Berbagai rencana pun kita rangkai bersama, list janji kita pun semakin banyaaaak. Teringat saat aku mempersembahkan 1 perak dan 1 perunggu untukmu, yang saat itu kamu berada di kota yang berbeda. Dan aku pun nekat untuk menyusulmu setelah aku meraih si perak dan si perunggu itu. Bagaimana pengorbananku saat itu ? Saat aku berusaha meraih perak dan perunggu itu, saat aku berusaha menyusulmu dengan modal nekat karena sesungguhnya aku buta jalan, aku tidak tahu harus kearah mana dan naik kendaraan umum apa ??? Saat keringat yang masih hadir ditubuhku, saksi dari perjuanganku meraih si perak dan si perunggu itu, aku pun berangkat tanpa beban pikiran. “Think positive that I believe I can to go there”, I said to my self. Kamu tidak perlu tahu selebihnya tentang pengorbananku saat itu, aku rela melakukan itu. Akhirnya kita pun bersua.

Lalu, aku pun teringat saat kamu mengunjungi istana gubukku, yang menurutku itu surga bagiku. Bertemu dengan keluarga kecilku. Tidak seperti kamu yang mempunyai banyak rakyat dalam istanamu.

Beberapa hari kemudian, kamu mengejutkanku. Kamu mengajakku ke tempat dimana aku benar-benar menginginkan berkunjung ke tempat itu bersama seseorang yang special bagiku. Hanya berdua. Rumah Tuhan. Iya, kita berdua berkunjung ke tempat suci dimana disana banyak umat yang meluapkan doa-doanya kepada Yang Maha Kuasa. Entah doa apa yang kamu sampaikan kepada-Nya, aku berharap kamu menyisipkan namaku dalam doamu, agar kita selalu bersama dalam kebahagian-Nya. Karena aku demikian, aku menyisipkan namamu dalam doaku. Kita satu Tuhan, dalam harapanku alangkah indahnya suatu saat nanti kamu mengenakan pakaian adatmu yang berwarna putih suci itu berdiri berdampingan denganku dengan mengenakan pakaian yang sejenis. Kamu terlihat tampan dalam balutan pakaian adat itu. Semoga dalam dirimu juga demikian, suci, dengan balutan pakaian adat berwarna putih. Aku tidak membahas kamu yang sekarang, tapi kamu dimasa depan.

Oh jadi gini ya rasanya berdoa di tempat suci bersama seseorang yang special. More blessed. Sapaan dari ibu warung tempat kita makan yang letaknya tidak jauh dari tempat kita berdoa, sapaan dari pemuda kecil yang cukup dekat dengan kita dan teman-teman kita. Sapaan dari mereka selalu terekam dalam benakku hingga akhirnya aku senyum-senyum sendiri, antara senang tapi agak malu gimana gitu karena biasanya kita ke tempat itu bersama-sama dengan teman yang lain. Tapi ini, kita hanya berdua. Hihihi

Hey kamu, iya kamu. Hampir setiap malam aku menghabiskan waktuku untuk melihat layar telepon genggamku dan membaca pesan singkatmu, kata-kata khawatirmu terhadap aku, canda tawa kecilmu yang khas, kecupan berupa tulisan yang membuat aku tersenyum secara diam-diam, terkadang kamu melontarkan kata-kata sindiranmu atau ejekkanmu kepadaku yang membuatku sedikit kesal namun itu membuatku rindu ingin berjumpa denganmu. Awal dari menjalani ini semua, kita komitmen dengan apa yang kita bicarakan dengan hati damai saat itu. Kita pun saling menerima. Terutama hal tentang pempublikasian ini semua. Aku terima. Karena aku menghargai kamu. Aku juga tidak ingin berlebihan untuk mempublikasi tentang apa yang kita jalani bersama. Suka duka aku dan kamu, hanya kita yang tahu. Kita yang menjalani bukan mereka. Inilah sebabnya aku menerima keputusan yang telah kita buat sama-sama.

Asal kamu tahu, perasaan yang aku rasa sangat dalam, sehingga aku memilih untuk diam.

No comments:

Post a Comment