Mengingat
masa lalu bersamamu itu aku jadi senyum-senyum sendiri. Indah. Iya indah, hampir
tidak merasakan jenuhnya bersamamu. Berawal dari teman biasa, kakak-adik (-an)
hingga akhirnya………
Malam
itu (Malam Rabu), saat malam perayaan hari raya kita tepat pukul 22.44 WIB
hingga keesokan harinya, tepatnya dini hari (Rabu dini hari) pukul 00.44 WIB,
kamu menghubungi aku melalui tabletmu yang membuatmu sedikit kurang nyaman
karena kamu tidak menggunakan perangkat tambahan. Akhirnya kamu memutuskan
untukmemindahkan simcard yang ada di tablet
ke telepon genggammu yang hanya digunakan untuk pesan singkat dan telepon. Aku
pun menunggu dengan perasaan biasanya saja, karena kita sering komunikasi lewat
pesan singkat atau pun berbicara langsung melalui telepon genggam kita. Namun,
malam itu sedikit berbeda. Kita berbicara agak lama dari biasanya, karena topik
pembahasaan kita saat begitu begitu menarik. Entah apa yang ada dipikiranmu dan
pikiranku sehingga akhirnya kita memutuskan untuk menjalani hubungan yang lebih
dari sekedar kakak adik.
Kamu
mungkin tidak mengetahui bagaimana ekspresi wajahku saat itu. Lucu. Aku aja
heran tiba-tiba tingkah laku aku seperti itu. Kamu tahu kenapa ? Karena kamu
hadir dikehidupan aku. Selamat datang Kak, selamat menempati sisi ruang hatiku
yang mungkin special untukmu. Karena kamu orang pertama yang menghuni ruangan
ini. Jujur, awalnya aku ragu dan takut. Kenapa ? Aku ragu dengan perasaan kakak
yang menurut aku itu datang tiba-tiba. Takut ? Iya aku takut buat kakak kecewa.
Aku takut tidak bisa menjadi wanita terbaik untuk kakak. Melihat diri kakak
yang begitu banyak pengalaman hidup, aku takut membuat kakak jenuh saat singgah
diruangan ini.
Aktivitas
di dalam “ruangan” pun dimulai. Saat aku mencoba untuk membiasakan diri untuk
mengatakan “aku” jika aku berbicara dengan kakak. Dan sesungguhnya aku
menikmati itu. It doesn’t matter for me.
Perbincangan
melalui telepon genggam pun semakin intens. Kamu yang selalu menemaniku melalui
pesan singkat disiang hari dan berbicara langsung melalui speaker dari telepon
genggam kita yang menjadikan kita benar-benar dekat padahal jarak antara kamu
dan aku tidak begitu dekat, beda kota. Suara bijakmu dibalik telepon genggamku
dan suara cemprengku dibalik telepon genggammu. Itu mengobati rasa rinduku
kepadamu. Pelaku dalam situasi seperti ini adalah….jarak. Namun, aku bersyukur
saat itu kamu sibuk dengan organisasimu yang menuntutmu untuk bolak/I ke salah
satu kota yang kebetulan itu tempat tinggalku saat ini. “Rinduku terobatiiii
aaaaaaaaaa jhlehfaohfdjdghugj”, itu aku ilustrasikan betapa speechlessnya aku saat ersua denganmu.
Jarak…oh…jarak. Waktu….oh…waktu.
Berbagai
rencana pun kita rangkai bersama, list janji kita pun semakin banyaaaak.
Teringat saat aku mempersembahkan 1 perak dan 1 perunggu untukmu, yang saat itu
kamu berada di kota yang berbeda. Dan aku pun nekat untuk menyusulmu setelah
aku meraih si perak dan si perunggu itu. Bagaimana pengorbananku saat itu ?
Saat aku berusaha meraih perak dan perunggu itu, saat aku berusaha menyusulmu
dengan modal nekat karena sesungguhnya aku buta jalan, aku tidak tahu harus
kearah mana dan naik kendaraan umum apa ??? Saat keringat yang masih hadir ditubuhku,
saksi dari perjuanganku meraih si perak dan si perunggu itu, aku pun berangkat
tanpa beban pikiran. “Think positive that
I believe I can to go there”, I said to my self. Kamu tidak perlu tahu
selebihnya tentang pengorbananku saat itu, aku rela melakukan itu. Akhirnya
kita pun bersua.
Lalu,
aku pun teringat saat kamu mengunjungi istana gubukku, yang menurutku itu surga
bagiku. Bertemu dengan keluarga kecilku. Tidak seperti kamu yang mempunyai
banyak rakyat dalam istanamu.
Beberapa
hari kemudian, kamu mengejutkanku. Kamu mengajakku ke tempat dimana aku
benar-benar menginginkan berkunjung ke tempat itu bersama seseorang yang special
bagiku. Hanya berdua. Rumah Tuhan. Iya, kita berdua berkunjung ke tempat suci
dimana disana banyak umat yang meluapkan doa-doanya kepada Yang Maha Kuasa.
Entah doa apa yang kamu sampaikan kepada-Nya, aku berharap kamu menyisipkan
namaku dalam doamu, agar kita selalu bersama dalam kebahagian-Nya. Karena aku
demikian, aku menyisipkan namamu dalam doaku. Kita satu Tuhan, dalam harapanku alangkah
indahnya suatu saat nanti kamu mengenakan pakaian adatmu yang berwarna putih
suci itu berdiri berdampingan denganku dengan mengenakan pakaian yang sejenis.
Kamu terlihat tampan dalam balutan pakaian adat itu. Semoga dalam dirimu juga
demikian, suci, dengan balutan pakaian adat berwarna putih. Aku tidak membahas
kamu yang sekarang, tapi kamu dimasa depan.
Oh
jadi gini ya rasanya berdoa di tempat suci bersama seseorang yang special.
More blessed. Sapaan dari ibu warung tempat kita makan yang letaknya tidak jauh dari tempat
kita berdoa, sapaan dari pemuda kecil yang cukup dekat dengan kita dan
teman-teman kita. Sapaan dari mereka selalu terekam dalam benakku hingga
akhirnya aku senyum-senyum sendiri, antara senang tapi agak malu gimana gitu
karena biasanya kita ke tempat itu bersama-sama dengan teman yang lain. Tapi
ini, kita hanya berdua. Hihihi
Hey
kamu, iya kamu. Hampir setiap malam aku menghabiskan waktuku untuk melihat
layar telepon genggamku dan membaca pesan singkatmu, kata-kata khawatirmu
terhadap aku, canda tawa kecilmu yang khas, kecupan berupa tulisan yang membuat
aku tersenyum secara diam-diam, terkadang kamu melontarkan kata-kata sindiranmu
atau ejekkanmu kepadaku yang membuatku sedikit kesal namun itu membuatku rindu
ingin berjumpa denganmu. Awal dari menjalani ini semua, kita komitmen dengan
apa yang kita bicarakan dengan hati damai saat itu. Kita pun saling menerima.
Terutama hal tentang pempublikasian ini semua. Aku terima. Karena aku
menghargai kamu. Aku juga tidak ingin berlebihan untuk mempublikasi tentang apa
yang kita jalani bersama. Suka duka aku dan kamu, hanya kita yang tahu. Kita
yang menjalani bukan mereka. Inilah sebabnya aku menerima keputusan yang telah
kita buat sama-sama.
Asal
kamu tahu, perasaan yang aku rasa sangat dalam, sehingga aku memilih untuk
diam.
No comments:
Post a Comment