10/19/2019

Dia, Kakak Kelasku

Dia kakak kelasku, di Sekolah Minggu. 
Saling tahu tapi tak saling kenal.
Setelah lulus SMA, kami hampir tidak pernah berkomunikasi apalagi bertatap muka. Kami berdua juga tinggal di kota berbeda setelah kelulusan itu. 

Kisah ini diawali dari seorang lelaki yang tiba-tiba hadir dikehidupanku awal tahun 2017. Aku panggil dengan nama Dia. 

"Hey, ikut ya!", ponsel pintar yang sedang kugenggam bergetar, memecahkan pikiranku saat sedang menyimak whatsapp group organisasi keagamaan yang anggotanya para remaja. Dua diantaranya, Aku dan Dia .
"Eh, iya ini aku lagi nyimak grup. Aku pikir-pikir dulu ya", dengan ragu aku menjawab. Cukup heran Aku dibuatnya. Setelah sekian lama tidak saling sapa tiba-tiba Dia menghubungiku.
"Yah kok gitu sih, ikut aja ya. Sekalian ajak teman-teman kamu", Dia terus membujuk.
       *sepuluh menit kemudian*
"Oke deh, aku ikut", dengan hambar aku membalas pesan Dia.
"Nah gitu dong, semangat seperti biasanya. Oke sampai ketemu ya!"

Setelah lulus SMA, kami berdua merantau. Aku di Jakarta, Dia di Jepang. Hingga pada akhirnya ada kesempatan dimana para remaja Sekolah Minggu dipertemukan lagi disebuah wadah organisasi keagamaan. Dia yang kutahu saat itu baru kembali ke Tanah Air setelah tiga tahun berkarir di negeri orang. Aku pun masih kuliah dan menetap di Jakarta. Aku niatkan untuk pulang ke daerah asalku untuk mengikuti kegiatan remaja Sekolah Minggu itu. Lalu, Aku bertemu Dia (lagi) setelah sekian tahun tidak saling komunikasi. 

Saat pertemuan itu, ternyata Dia sudah dekat dengan seorang perempuan yang belum kukenal. Sepertinya Ia anggota baru, atau mungkin Aku yang anggota baru? Ya, keputusanku merantau membuat Aku merasa asing saat kembali bergabung ke dalam komunitas ini. Banyak orang baru yang belum ku kenal. "Sepertinya, Aku harus segera beradaptasi nih atau Aku mundur aja ya? Mungkin gak ya aku bisa melebur dengan mereka teman-teman baru di komunitas ini?", dalam hati ku menerka situasi yang akan terjadi kedepannya. 

"Hi, kak! Apa kabar?", Aku mencoba menyapa Dia untuk mencairkan suasana hatiku yang cukup ragu dan canggung karena cukup lama tidak ada komunikasi dengan teman-teman Sekolah Mingguku dulu.
"Hi, akhirnya datang. Kabar baik. Kamu gimana?", Dia meresponku.
"Baik kak", jawabku seperlunya

Kegiatan pun berlangsung dengan lancar, Dia dengan kekasihnya, Aku dengan teman-teman lamaku mengenang kisah-kisah masa sekolah.

Waktu pun terus bergulir, semenjak pertemuan itu Aku dan Dia tidak berkomunikasi lagi. Di tanah rantau Aku disibukkan dengan seorang laki-laki yang cukup keras kepala tapi selalu ada untukku. Hal-hal itulah yang membentengi Aku dan Dia untuk tidak berkomunikasi. Dia dengan pasangannya, Aku dengan pasanganku. Saat itu. Tapi itu tidak membuatku canggung untuk tetap gabung dan bertemu dengan perkumpulan remaja Sekolah Mingguku. Uniknya, seiring dengan kegiatan yang kita lakukan bersama, Aku dan teman perempuan Dia menjadi lebih akrab dan sering mengikuti kegiatan keagamaan bersama. Hingga Aku pun tahu hubungannya dengan Dia sudah cukup serius dan saling didukung oleh keluarga kedua pihak. 


Tahun berikutnya, Januari 2018, Dia menghubungiku lagi. Namun kali ini berbeda, Dia lebih sering menghubungiku dan mengaku sudah tidak berhubungan dengan kekasinya yang dulu. Aku pun demikian, hubunganku dengan pasanganku dulu mulai merenggang hingga akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Anehnya, Aku gak ada rasa sama sekali dengan Dia meskipun kami berdua sudah cukup intens komunikasi dan bertemu. Intuisiku benar, hanya tiga bulan Dia menghubungiku. Dia hanya singgah, bukan untuk menetap. Tidak ada rasa kecewa atau pun sedih sama sekali yang Aku rasakan. Karena Aku tidak berharap banyak pada hubungan tersebut. Dia pun hilang. Tak ada komunikasi, tidak pernah lagi berkumpul dengan komunitas Sekolah Minggu. Aku tidak mempersoalkan itu. 

Enam bulan kemudian Dia hadir kembali dikehidupanku. Aku perhatikan siklusnya sama persis awal tahun 2018. Dia menghubungiku, ngajak ketemu lalu tukar cerita hingga senja. Namun tetap, rasa itu hambar. Intuisiku seakan berkata "Jangan terlalu banyak berharap. Dia hanya singgah, lalu akan pergi hingga waktu yang belum ditentukan". Boom! Benar intuisiku. Dua bulan berjalan, Dia pergi (lagi). Menghilang ditelan planet lain. Hingga akhirnya, Maret 2019 saat hari ulang tahunku Dia mengucapkan "Happy Birthday!". Aku menjawab seperlunya, karena masih ada rasa kecewa yang Dia sumbangkan tahun lalu. Aku biarkan begitu saja pesan-pesan yang selalu Dia kirimkan ke media sosialku. Berjalan dua bulan Dia masih berjuang menghubungiku dan mengajakku bertemu orang tuanya. Perasaan ini masih Aku jaga, Aku pertahankan pondasiku agar tidak runtuh seperti pengalaman sebelumnya. 

Pertengahan tahun 2019 Dia masih tetap sama, grafik yang Dia berikan cukup stabil bahkan meningkat hingga menunjukkan keseriusannya denganku. Satu hal yang masih Aku pikirkan, bagaimana dengan kekasihnya yang dulu kalau tahu Aku dan Dia memulai hubungan ini? Pikiran itu pun lebur, Dia yang selalu meyakinkanku kalau Dia benar-benar serius denganku. Aku pun luluh dan mencoba untuk membuka benteng pertahananku untuk Dia. Dengan hati-hati dan cukup cerdas Dia memasuki halaman wilayah pertahananku itu, hingga Aku membuka kunci pintu utama dalam ruang benteng dan saat ini pintu itu sudah Aku kunci kembali, tentu dengan suasana cukup berbeda. Ada Dia di dalam ruang benteng itu yang berjanji tidak akan keluar dari benteng pertahananku. Aku dan Dia pun berkomitmen untuk membuat pondasi yang lebih kuat dan lebih nyaman. Aku dan Dia lah yang menjalankan kehidupan selanjutnya dalam benteng itu.

Selamat membangun pondasi, meski terpaan angin selalu ada, semoga tetap kuat dan fokus dengan tujuan.

Sampai jumpa diperjalanan kehidupan Aku dan Dia selanjutnya.
Kita tidak akan pernah tahu dengan siapa kita akan bertemu dan hidup dimasa depan. Aku dan Dia sudah berjalan cukup jauh untuk mencari seseorang yang mau membangun pondasi kehidupan bersama-sama. Setelah sekian tempat disinggahi, ternyata tempat awal lah yang kami berdua pilih. Dia, kakak kelasku yang kini sedang berjuang bersama dengan Aku untuk membangun pondasi kehidupan masa depan.
Terima kasih.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita ini diadaptasi dari kisah seseorang (tokoh Aku) dengan pasangannya (tokoh Dia) yang saat ini sedang disibukkan dengan rencana-rencana kehidupan selanjutnya.