1/20/2013

Kerukunan Antar Umat Beragama

Name   : Luh Eka Margarita S
NPM   : 18611701
Class    : 2SA01 
PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME, karena dengan rahmat -Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah Ilmu Sosial Dasar yang berjudul Kerukunan Antar Umat Beragama.
Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada dosen dan teman-teman saya yang telah banyak mendukung pengerjaan makalah ini hingga selesai. Makalah ini masih kurang sempurna sehingga saya harap kritik dan saran yang membangun untuk dapat mnyempurnakan makalah ini. Semoga makalah yang saya susun ini nantinya dapat menambah wawasan saya khususnya dan pembaca umumnya.




Penulis




BAB I
PENDAHULUAN


A.    PENGERTIAN
"Rukun" dari Bahasa Arab "ruknun" artinya asas-asas atau dasar, seperti rukun Islam. Rukun dalam arti adjektiva adalah baik atau damai. Kerukunan hidup umat beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak bertengkar, walaupun berbeda agama. Kerukunan umat beragama adalah program pemerintah meliputi semua agama, semua warga negara RI.
Pada tahun 1967 diadakan musyawarah antar umat beragama, Presiden Soeharto dalam musyawarah tersebut menyatakan antara lain: "Pemerintah tidak akan menghalangi penyebaran suatu agama, dengan syarat penyebaran tersebut ditujukan bagi mereka yang belum beragama di Indonesia. Kepada semua pemuka agama dan masyarakat agar melakukan jiwa toleransi terhadap sesama umat beragama".
Pada tahun 1972 dilaksanakan dialog antar umat beragama. Dialog tersebut adalah suatu forum percakapan antar tokoh-tokoh agama, pemuka masyarakat dan pemerintah. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kesadaran bersama dan menjalin hubungan pribadi yang akrab dalam menghadapi masalah masyarakat.











BAB II
PEMBAHASAN

Kerukunan antar umat beragama merupakan hal yang harus dianalisis ulang, Mengapa? hal inilah yang menjadi pembahasan kali ini. Kondisi sosial dan karakteristik masyarakat yang ada daerah kota medan tergolong pada masyarakat atau komunitas yang heterogen, baik bidang sosial, budaya dan agama. Di antara etnis yang paling dominan serta berkembang di Kota Medan adalah etnis Cina, Batak, Jawa, Minagkabau, Melayu dan etnis Aceh. Situasi atau kondisi masyarakat yang ada merupakan sebuah tantangan sekaligus memotovasi dalam berkiprah untuk lebih maju dan mengembangkan potensi yang ada.
Namun jika ditinjau dari segi etnis yang ada di atas, kebanyakan etnis tersebut merupakan kaum imigran dari berbagai negara dan daerah. Yang akhirnya menjandikan masyarakat Kota Medan berpenduduk multi etnis, hal ini membawa perubahan ke arah yang positif, di mana masyarakat mempunyai toleransi yang tinggi. Di antara masyarakat pendatang maupun penduduk asli terjadi asimilasi budaya yang variatif.
Jika dilihat dari sisi etnis, penduduk asli Kota Medan adalah etnis Melayu, menurut etnis Melayu Islam, agama merupakan syarakat yang mutlak untuk dapat diakui menjadi etnis Melayu. Selanjutnya, sejalan dengan perubahan kondisi sosial masyarakat yang ada di Kota medan, kemudian muncul etnis Batak sebagai imigran yang paling dominan dari daerah. Yang akhirnya etnis Melayu sedikit demi sedikit kurang menonjol, dan etnis Melayu diangap sebagai populasi yang kurang mampu menguasai wilayahnya sendiri.
Jika ditinjau dari segi agama dari komunitas atau masyarakat Kota Medan, lebih dominan beragama Islam, kemudian disusul dengan agama lain seperti Kristen, Protestan, Budha dan Hindu. Hal tersebut merupakan suatu gambaran realitas kehidupana masyarakat Kota Medan yang serba pluralistik dan heterogen. Kondisi pluralistik tersebut mengakibatkan timbulnya kecenderungan masing-masing untuk menganut keyanina dan kepercayaan yang bermacam-macam.
Hal tersebut juga berpengeruh terhadap sistem kekeluargaan yang ada, masyakarat Kota Medan khusunya mempunyai cenderung memakai sistem kekeluargaan, yaitu sistem kekeluargaan patrilinial, walaupun sebahagian kecil ada yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal dan parental. Kepluralistikan tersebut bukan saja dalam hal sistem kekeluargaan sebagaimana yang disebutkan di atas, namun dari segi etnis, budaya dan agama turut mewarnai masyarakat Kota Medan sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Meskipun demikian, semuanya dipengaruhi oleh budaya, kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat. Berbicara tentang kebudayaan atau budaya dapat ditinjau dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang meruapakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan.

A. Pola Hubungan Masyarakat
Secara naluri bahwa manusia adalah makhuk yang mempunyai keinginan untuk hidup bermasyarakat, artinya setiap manusia punya keinginan untuk berkumpul dan mengadakan hubungan antara sesamanya. Di mana ada masyarakat di sana ada hukum (Ubi societas Ibi Ius) demikianlah ungkapan Cicero kira-kira 2.000 tahun yang lalu. Ungkapan yang sama juga pernah disebutkan oleh L. J. Van Apeldoorn, dalam versi lain ia menyatakan : “Recht is er over de gehele wereld, overal, waar een samenleving vanmensen is” (hukum terdapat di dalam setiap masyarakat manusia, betapapun sederhananya masyarakat tersebut). Sesuai dengan ungkapan Cicero dan L. J. Van Apeldoorn tersebut, seiring dengan kondisi sosial yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat yang ada.
Kumpulan atau persatuan manusia yang saling mengadakan hubungan satu sama lain itu dinamakan “masyarakat”. Jadi masyarakat terbentuk apabila dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup mereka timbul berbagai hubungan atau pertalian yang mengakibatkan mereka saling mengenal dan saling mempengaruhi
Bagaimanapun sederhananya dan moderennya masyarakat tersebut, sangat signifikan adanya norma, maka norma tetap sebagai suatu yang mutlak harus ada pada masyarakat. Untuk itu, norma hukum maupun norma lainnya dalam masyarakat tujuannya untuk keseimbangan, keserasian dan kesejahteraan hubungan-hubungan manusia dam masyarakat.
Selanjutnya, sebagaimana telah dijelaskan lebih dahulu bahwa, masyarakat kota Medan yang multi etnis tentu mempunyai corak dan karaktersitik yang bermacam-macam. Hal tersebut merupakan sebuah bukti bahwa kondisi itu erat kaitannya dengan kondisi masyarakat yang pada pada umumnya utamanya, perantau sehingga memilih motif masing-masing, sesuai dengan karakter dan keadaannya.
Misalnya orang Minangkabau merantau ke Deli di samping berdagang, mereka juga membawa pembaharuan, sesuai dengan kondisi dan kebiasaan yang mereka anut. Perantau Minangkabau mayorotas adalah untuk memperkaya dan memperkuat alam Minangkabau. Sementara perantau dari etnis Batak cenderung menonjolkan sukunya dengan marga-marganya yang begitu khas. Dari etnis-etnis yang ada di Kota Medan, para perantau biasanya utamanya perantau Minangkabau dan Mandailing (Batak) menganggap diri mereka lebih berpendidikan dibandingkan Tuan Rumah orang Melayu. Minang menolak berasimilasi dengan budaya Melayu Muslim, begutu juga dengan kelompok Mandailing (Batak) secara formal telah mengasimilasikan diri ke dalam budaya Melayu Muslim walau hanya dipermukaan; seperti memakai bahasa Melayu, menaggalkan nama-nama atau merga Batak mereka dan akhirnya mereka mengaku berbangsa Melayu.
Sementara orang Minagkabau menolak praktek-praktek keislaman yang dilaksanakan oleh etnis Melayu. Sebaliknya, mereka dengan menggunakan organisasi reformis Islamiyah sendiri, menentang legitimasi konsep Islam masyarakat Melayu. Tetapi hal yang sangat signifikan untuk diperhatikan adalah, kelompok etnik melayu, sebagai tuan rumah (host population) tidak memiliki kekuatan sosio-demokrafik menjadikan dirinya menjadi populasi tuan rumah yang dominan seperti etnik sunda di bandung, karena etnis Melayu bukan etnis mayorotas di kota Medan.
Disebabkan adanya multi etnis di kota Medan meyebabkan adanya berbagai varaian sifat dan budaya yang mempunyai eksistensi tersendiri. Disebabkan adanya kepluralistikan etnis tersebut, tentunya punya perbedaan serta persamaan. Meskipun ada sekilas adanya persamaan, tetapi masing-masing mempuanyai ciri khusus, hal ini disebabkan adanya perbedaan wilayah, bahasa, dan adat. istiadat yang berbeda-beda. Terlebih-lebih setiap kelompok masyarakat ini tidak merasa tergabung antara satu dengan yang lain, sesuai dengan sentimen diri mereka.
Sedangkan menurut Kuncoro Ningrat, dalam karyanya yang berjudul, Antropologi Sosial, menyebutkan bahwa untuk membedakan komunitas yang satu dengan yang lainnya selain berdasarkan kenyataan perbedaan yang ada, lebih ditentukan oleh sentimen persatuan masing-masing kelompok atau komunitas.
Kemudian, untuk menindak lanjuti dari pendapat Kuncoro Ningrat di atas, dalam hal ini sangat penting untuk membicarakan tentang pola hubungan masyarakat, sebab sangat terkait dengan apa yang disebut interkasi sosial. Interaksi tersebut merupakan faktor utama dalam kehidupan masyarakat, bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial), oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. interkasi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, anatar kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Berlangsungnya suatu interaksi didasrakan pada berbagai faktor, antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Bila ditinjau secara lebih dalam maka faktor imitasi misalnya, mempunyai peran yang sangat penting dalam proses interkasi sosial.

B. Pola Hidup Beragama Masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang sangat siknifikan untuk dikatahui, yaitu kebudayan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat yang menurutnya terbagi kaepada tiga tipa, kondisi tipe tersebut nampaknya mengikuti konsep Agus Komte tentang proses tahapan pembentukan masyarakat.
Sejalan dengan penjelasan di atas, perlu kiranya melihat lebih dalam tentang pola hidup beragama masyarakat kota Medan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa, kota Medan merupakan sebuah kota yang serba heterogen, dalam hal ini termasuk dalam sektor agama dan juga bidang budaya. Sebagai sebuah komunitas yang heterogen pasti mempunyai atau menganur agama yang berbeda-beda. Di antara agama yang diakui, agama Islamlah yang paling banyak dianut oleh masyarakat kota Medan, kemudian menyusul agama Kristen, Protestan, Budha dan Hindu. Dalam menata pola hidup beragama masyarakat kota Medan yang serba majemuk dalam bidang agama tersebut, siknifikan adanya dibina dan digalakkan adanaya kerukunan antar agama.
Agar kerukunan hidup antar umat beragama, Hugh Goddard, seorang Kristiani Inggris, yang ahli teologi Islam, mengingatkan, bahwa kerukunan antar umat berama harsu dihindari penggunaan “standart ganda” (double standars). Orang-orang Kristen ataupun Islam, misalnya, selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, biasanya standar yang ditunjukkan bersifat ideal dan normatif. Sedangkan terhadap agama lain, mereka memakia standar lain yang lebih bersifat relistis dan historis. Melalui standar ganda inilah, muncul prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama. Ada tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda kita. Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusi.
Namun, jika ditinjau dari segi kerukunan beragama masyarakat kota Medan selama ini, sangat mendukung terciptanya kerukunan antar umat beragama. Hal ini terkesan dari masyarakatnya yang sangat antusias dalam mewujudkan terciptanya kerukunan yang senantiasa mendambakan kedamaian dan keamanan. Sehingga terhindar dari kekacauan dan kekerasan yang mengakibatkan kekhawatiran akan muncul percekcokan yang mengarah kepada perbedaaan agama atau keyakinan.
Bila dilihat dari struktur sosial masyarakat, acapkali dibedakan antara dua macam persoalan yang meyangkut pola hidup beragama masyarakat yaitu antara masalah masyarakat ansich (scientifis or social problems). Dengan problem sosial (ameliorative or social problems). Yang pertama menyangkut analisis tentang macam-macam gejala kehidupan masyarakat. Sedangkan yang kedua meneliti gejala-gejala abnormal masyarakat dengan maksud untuk memperbaiki atau bahkan untuk menghilangkannya.
Sangat urgen kiranya tinjauan ini, artinya disoroti dalam lingkup kaijian sosiologi yang notabenenya meyelidiki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan. Sedangkan proses lanjutannya merupakan bagian dari perekerjaan sosial (social work). Dengan perkataan lain, berusaha untuk memehami kekuatan-kekuatan dasar yang berada di belakang tata kelakuan sosial.

C.     Contoh Kerkunan Umat Beragama Di Pulau Bali
Kerukunan antarumat beragama di Bali sangat mesra dan harmonis, hidup berdampingan satu sama lainnya, yang diharapkan bisa menjadi contoh kerukunan secara nasional. "Umat beragama satu sama lain mempunyai toleransi sangat tinggi yang diwarisi masyarakat secara turun temurun yang hingga kini tetap kokoh dan mantap," kata Kasi Kepenguluan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali Drs H Salim Syamlan, Mpd ketika bertindak sebagai khatib  pada  shalat Idul Fitri 1 syawal 1433 H di Lapangan Niti Praja Lumintang Denpasar, Minggu. Ia mengatakan, kondisi kerukunan lintas agama yang kokoh dan mantap itu diharapkan tetap dapat terpelihara dan ditingkatkan di masa-masa mendatang, melalui  peningkatkan pemahaman satu sama lain. Oleh sebab itu semua pihak hendaknya mengupayakan agar kerukunan lintas agama tetap dapat terpelihara dengan baik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. 
H Salim Syamlan di hadapan ratusan umat muslim, ia menambahkan, Kanwil Kementerian Agama maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali terus mengembangkan dialog dan memantapkan kerja sama dengan tokoh-tokoh lintas agama, sebagai upaya memelihara kerukunan antarumat di Bali. Kerukunan antarumat beragama di Bali sangat kokoh, tidak pernah terjadi masalah yang diwarisi sejak 500 tahun silam itu  dan kondisi itu perlu dibina dan dipelihara di masa-masa mendatang.

BAB III
KESIMPULAN

Indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat yang multikultural. Multikultural masyarakat Indonesia tidak sauja kerena keanekaragaman suku, budaya,bahasa, ras tapi juga dalam hal agama. Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah agama islam, Katolik, protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Dari agama-agama tersebut terjadilah perbedaan agama yang dianut masing-masing masyarakat Indonesia. Dengan perbedaan tersebut apabila tidak terpelihara dengan baik bisa menimbulkan konflik antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan saling tolong menolong.
               Maka dari itulah diperlukan suatu model hubungan antar masyarakat yang berbeda agama yaitu kerukunan hidup antar umat beragama atau toleransi antar umat beragama. Istilah ini dikemukakan oleh mantan Menteri Agama Indonesia tahun 1972. Sebagai sarana pencapaian kehidupan harmonis antar umat beragama yang diselenggarakam dengan segala kearifan dan kebijakan atas nama pemerintah.
                Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa menguarangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Masing-masing pemeluk agama yang baik haruslah hidup rukun dan damai. Karena itu kerukunan antar umat beragama tidak mungkin akan lahir dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak keberagaman dan perasaan orang lain. Tetapi dalam hal ini tidak diartikan bahwa kerukunan hidup antar umat beragama member ruang untuk mencampurkan unsur-unsur tertentu dari agama yang berbeda , sebab hal tersebut akan merusak nilai agama itu sendiriUmat minoritas dapat menikmati kenyamanan ekonomi, sosial, intelektual, dan spiritual dari umat mayoritas (Islam) tanpa lenyap sebagai minoritas.
               Sayangnya, dalam satu dasawarsa belakangan ini, Pancasila sering disalahartikan, dipandang sebelah mata, dan terancam oleh ideologi-ideologi transnasional, baik yang berjubah agama maupun ekonomi.