Name : Luh Eka Margarita S
NPM : 18611701
Class : 2SA01
PENGANTAR
Puji syukur saya
panjatkan kepada Tuhan YME, karena dengan rahmat -Nya saya dapat menyelesaikan
tugas makalah Ilmu Sosial Dasar yang berjudul Kerukunan Antar Umat Beragama.
Tidak lupa saya
ucapkan terimakasih kepada dosen dan teman-teman saya yang telah banyak
mendukung pengerjaan makalah ini hingga selesai. Makalah ini masih kurang
sempurna sehingga saya harap kritik dan saran yang membangun untuk dapat
mnyempurnakan makalah ini. Semoga makalah yang saya susun ini nantinya dapat
menambah wawasan saya khususnya dan pembaca umumnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
"Rukun" dari Bahasa Arab
"ruknun" artinya asas-asas atau dasar, seperti rukun Islam. Rukun
dalam arti adjektiva adalah baik atau damai. Kerukunan hidup umat beragama
artinya hidup dalam suasana damai, tidak bertengkar, walaupun berbeda agama.
Kerukunan umat beragama adalah program pemerintah meliputi semua agama, semua
warga negara RI.
Pada tahun 1967 diadakan musyawarah antar
umat beragama, Presiden Soeharto dalam musyawarah tersebut menyatakan antara
lain: "Pemerintah tidak akan menghalangi penyebaran suatu agama, dengan
syarat penyebaran tersebut ditujukan bagi mereka yang belum beragama di
Indonesia. Kepada semua pemuka agama dan masyarakat agar melakukan jiwa
toleransi terhadap sesama umat beragama".
Pada tahun 1972 dilaksanakan dialog antar
umat beragama. Dialog tersebut adalah suatu forum percakapan antar tokoh-tokoh
agama, pemuka masyarakat dan pemerintah. Tujuannya adalah untuk mewujudkan
kesadaran bersama dan menjalin hubungan pribadi yang akrab dalam menghadapi
masalah masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Kerukunan antar umat beragama merupakan hal yang harus dianalisis ulang, Mengapa? hal inilah yang
menjadi pembahasan kali ini. Kondisi sosial dan karakteristik masyarakat yang
ada daerah kota medan tergolong pada masyarakat atau komunitas yang heterogen,
baik bidang sosial, budaya dan agama. Di antara etnis yang paling dominan serta
berkembang di Kota Medan adalah etnis Cina, Batak, Jawa, Minagkabau, Melayu dan
etnis Aceh. Situasi atau kondisi masyarakat yang ada merupakan sebuah tantangan
sekaligus memotovasi dalam berkiprah untuk lebih maju dan mengembangkan potensi
yang ada.
Namun jika ditinjau dari segi etnis yang ada di atas, kebanyakan etnis
tersebut merupakan kaum imigran dari berbagai negara dan daerah. Yang akhirnya
menjandikan masyarakat Kota Medan berpenduduk multi etnis, hal ini membawa
perubahan ke arah yang positif, di mana masyarakat mempunyai toleransi yang
tinggi. Di antara masyarakat pendatang maupun penduduk asli terjadi asimilasi
budaya yang variatif.
Jika dilihat dari sisi etnis, penduduk asli Kota Medan adalah etnis
Melayu, menurut etnis Melayu Islam, agama merupakan syarakat yang mutlak untuk
dapat diakui menjadi etnis Melayu. Selanjutnya, sejalan dengan perubahan
kondisi sosial masyarakat yang ada di Kota medan, kemudian muncul etnis Batak
sebagai imigran yang paling dominan dari daerah. Yang akhirnya etnis Melayu
sedikit demi sedikit kurang menonjol, dan etnis Melayu diangap sebagai populasi
yang kurang mampu menguasai wilayahnya sendiri.
Jika ditinjau dari segi agama dari komunitas atau masyarakat Kota Medan,
lebih dominan beragama Islam, kemudian disusul dengan agama lain seperti
Kristen, Protestan, Budha dan Hindu. Hal tersebut merupakan suatu gambaran
realitas kehidupana masyarakat Kota Medan yang serba pluralistik dan heterogen.
Kondisi pluralistik tersebut mengakibatkan timbulnya kecenderungan
masing-masing untuk menganut keyanina dan kepercayaan yang bermacam-macam.
Hal tersebut juga berpengeruh terhadap sistem kekeluargaan yang ada,
masyakarat Kota Medan khusunya mempunyai cenderung memakai sistem kekeluargaan,
yaitu sistem kekeluargaan patrilinial, walaupun sebahagian kecil ada yang
menganut sistem kekeluargaan matrilineal dan parental. Kepluralistikan tersebut
bukan saja dalam hal sistem kekeluargaan sebagaimana yang disebutkan di atas,
namun dari segi etnis, budaya dan agama turut mewarnai masyarakat Kota Medan
sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Meskipun demikian, semuanya dipengaruhi oleh budaya, kebudayaan setiap
bangsa atau masyarakat. Berbicara tentang kebudayaan atau budaya dapat ditinjau
dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang meruapakan bagian dari
suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan.
A. Pola Hubungan Masyarakat
Secara naluri bahwa manusia adalah makhuk yang mempunyai keinginan untuk
hidup bermasyarakat, artinya setiap manusia punya keinginan untuk berkumpul dan
mengadakan hubungan antara sesamanya. Di mana ada masyarakat di sana ada hukum
(Ubi societas Ibi Ius) demikianlah ungkapan Cicero kira-kira 2.000 tahun yang
lalu. Ungkapan yang sama juga pernah disebutkan oleh L. J. Van Apeldoorn, dalam
versi lain ia menyatakan : “Recht is er over de gehele wereld, overal, waar een
samenleving vanmensen is” (hukum terdapat di dalam setiap masyarakat manusia,
betapapun sederhananya masyarakat tersebut). Sesuai dengan ungkapan Cicero dan
L. J. Van Apeldoorn tersebut, seiring dengan kondisi sosial yang terjadi di
dalam kehidupan masyarakat yang ada.
Kumpulan atau persatuan manusia yang saling mengadakan hubungan satu
sama lain itu dinamakan “masyarakat”. Jadi masyarakat terbentuk apabila dua
orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup mereka timbul
berbagai hubungan atau pertalian yang mengakibatkan mereka saling mengenal dan
saling mempengaruhi
Bagaimanapun sederhananya dan moderennya masyarakat tersebut, sangat
signifikan adanya norma, maka norma tetap sebagai suatu yang mutlak harus ada
pada masyarakat. Untuk itu, norma hukum maupun norma lainnya dalam masyarakat
tujuannya untuk keseimbangan, keserasian dan kesejahteraan hubungan-hubungan
manusia dam masyarakat.
Selanjutnya, sebagaimana telah dijelaskan lebih dahulu bahwa, masyarakat
kota Medan yang multi etnis tentu mempunyai corak dan karaktersitik yang
bermacam-macam. Hal tersebut merupakan sebuah bukti bahwa kondisi itu erat
kaitannya dengan kondisi masyarakat yang pada pada umumnya utamanya, perantau
sehingga memilih motif masing-masing, sesuai dengan karakter dan keadaannya.
Misalnya orang Minangkabau merantau ke Deli di samping berdagang, mereka
juga membawa pembaharuan, sesuai dengan kondisi dan kebiasaan yang mereka anut.
Perantau Minangkabau mayorotas adalah untuk memperkaya dan memperkuat alam
Minangkabau. Sementara perantau dari etnis Batak cenderung menonjolkan sukunya
dengan marga-marganya yang begitu khas. Dari etnis-etnis yang ada di Kota
Medan, para perantau biasanya utamanya perantau Minangkabau dan Mandailing
(Batak) menganggap diri mereka lebih berpendidikan dibandingkan Tuan Rumah
orang Melayu. Minang menolak berasimilasi dengan budaya Melayu Muslim, begutu
juga dengan kelompok Mandailing (Batak) secara formal telah mengasimilasikan
diri ke dalam budaya Melayu Muslim walau hanya dipermukaan; seperti memakai
bahasa Melayu, menaggalkan nama-nama atau merga Batak mereka dan akhirnya
mereka mengaku berbangsa Melayu.
Sementara orang Minagkabau menolak praktek-praktek keislaman yang
dilaksanakan oleh etnis Melayu. Sebaliknya, mereka dengan menggunakan
organisasi reformis Islamiyah sendiri, menentang legitimasi konsep Islam
masyarakat Melayu. Tetapi hal yang sangat signifikan untuk diperhatikan adalah,
kelompok etnik melayu, sebagai tuan rumah (host population) tidak memiliki
kekuatan sosio-demokrafik menjadikan dirinya menjadi populasi tuan rumah yang
dominan seperti etnik sunda di bandung, karena etnis Melayu bukan etnis
mayorotas di kota Medan.
Disebabkan adanya multi etnis di kota Medan meyebabkan adanya berbagai
varaian sifat dan budaya yang mempunyai eksistensi tersendiri. Disebabkan
adanya kepluralistikan etnis tersebut, tentunya punya perbedaan serta
persamaan. Meskipun ada sekilas adanya persamaan, tetapi masing-masing
mempuanyai ciri khusus, hal ini disebabkan adanya perbedaan wilayah, bahasa,
dan adat. istiadat yang berbeda-beda. Terlebih-lebih setiap kelompok masyarakat
ini tidak merasa tergabung antara satu dengan yang lain, sesuai dengan sentimen
diri mereka.
Sedangkan menurut Kuncoro Ningrat, dalam karyanya yang berjudul, Antropologi
Sosial, menyebutkan bahwa untuk membedakan komunitas yang satu dengan yang
lainnya selain berdasarkan kenyataan perbedaan yang ada, lebih ditentukan oleh
sentimen persatuan masing-masing kelompok atau komunitas.
Kemudian, untuk menindak lanjuti dari pendapat Kuncoro Ningrat di atas,
dalam hal ini sangat penting untuk membicarakan tentang pola hubungan
masyarakat, sebab sangat terkait dengan apa yang disebut interkasi sosial.
Interaksi tersebut merupakan faktor utama dalam kehidupan masyarakat, bentuk
umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses
sosial), oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial. interkasi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial
yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, anatar
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia.
Berlangsungnya suatu interaksi didasrakan pada berbagai faktor, antara
lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut
dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung.
Bila ditinjau secara lebih dalam maka faktor imitasi misalnya, mempunyai peran
yang sangat penting dalam proses interkasi sosial.
B. Pola Hidup Beragama Masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang
sangat siknifikan untuk dikatahui, yaitu kebudayan, sistem sosial, dan
kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan fenomena sosial yang kompleks dan
terpadu yang pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia. Berkaitan dengan
hal tersebut, Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan
masyarakat yang menurutnya terbagi kaepada tiga tipa, kondisi tipe tersebut
nampaknya mengikuti konsep Agus Komte tentang proses tahapan pembentukan
masyarakat.
Sejalan dengan penjelasan di atas, perlu kiranya melihat lebih dalam
tentang pola hidup beragama masyarakat kota Medan. Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya bahwa, kota Medan merupakan sebuah kota yang serba heterogen, dalam
hal ini termasuk dalam sektor agama dan juga bidang budaya. Sebagai sebuah
komunitas yang heterogen pasti mempunyai atau menganur agama yang berbeda-beda.
Di antara agama yang diakui, agama Islamlah yang paling banyak dianut oleh
masyarakat kota Medan, kemudian menyusul agama Kristen, Protestan, Budha dan
Hindu. Dalam menata pola hidup beragama masyarakat kota Medan yang serba
majemuk dalam bidang agama tersebut, siknifikan adanya dibina dan digalakkan
adanaya kerukunan antar agama.
Agar kerukunan hidup antar umat beragama, Hugh Goddard, seorang
Kristiani Inggris, yang ahli teologi Islam, mengingatkan, bahwa kerukunan antar
umat berama harsu dihindari penggunaan “standart ganda” (double standars).
Orang-orang Kristen ataupun Islam, misalnya, selalu menerapkan standar-standar
yang berbeda untuk dirinya, biasanya standar yang ditunjukkan bersifat ideal
dan normatif. Sedangkan terhadap agama lain, mereka memakia standar lain yang
lebih bersifat relistis dan historis. Melalui standar ganda inilah, muncul
prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan
antar umat beragama. Ada tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali
ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda kita. Keyakinan bahwa agama
sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan sedangkan agama lain
hanyalah konstruksi manusi.
Namun, jika ditinjau dari segi kerukunan beragama masyarakat kota Medan
selama ini, sangat mendukung terciptanya kerukunan antar umat beragama. Hal ini
terkesan dari masyarakatnya yang sangat antusias dalam mewujudkan terciptanya
kerukunan yang senantiasa mendambakan kedamaian dan keamanan. Sehingga
terhindar dari kekacauan dan kekerasan yang mengakibatkan kekhawatiran akan
muncul percekcokan yang mengarah kepada perbedaaan agama atau keyakinan.
Bila dilihat dari struktur sosial masyarakat, acapkali dibedakan antara
dua macam persoalan yang meyangkut pola hidup beragama masyarakat yaitu antara
masalah masyarakat ansich (scientifis or social problems). Dengan problem
sosial (ameliorative or social problems). Yang pertama menyangkut analisis
tentang macam-macam gejala kehidupan masyarakat. Sedangkan yang kedua meneliti
gejala-gejala abnormal masyarakat dengan maksud untuk memperbaiki atau bahkan
untuk menghilangkannya.
Sangat urgen kiranya tinjauan ini, artinya disoroti dalam lingkup
kaijian sosiologi yang notabenenya meyelidiki persoalan-persoalan umum dalam
masyarakat dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan
kehidupan kemasyarakatan. Sedangkan proses lanjutannya merupakan bagian dari
perekerjaan sosial (social work). Dengan perkataan lain, berusaha untuk
memehami kekuatan-kekuatan dasar yang berada di belakang tata kelakuan sosial.
C. Contoh Kerkunan Umat
Beragama Di Pulau Bali
Kerukunan
antarumat beragama di Bali sangat mesra dan harmonis, hidup berdampingan satu sama
lainnya, yang diharapkan bisa menjadi contoh kerukunan secara nasional. "Umat beragama
satu sama lain mempunyai toleransi sangat tinggi yang diwarisi masyarakat
secara turun temurun yang hingga kini tetap kokoh dan mantap," kata Kasi
Kepenguluan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali Drs H Salim Syamlan, Mpd ketika
bertindak sebagai khatib pada shalat Idul Fitri 1 syawal 1433 H di
Lapangan Niti Praja Lumintang Denpasar, Minggu. Ia mengatakan, kondisi
kerukunan lintas agama yang kokoh dan mantap itu diharapkan tetap dapat
terpelihara dan ditingkatkan di masa-masa mendatang, melalui peningkatkan
pemahaman satu sama lain.
Oleh
sebab itu semua pihak hendaknya mengupayakan agar kerukunan lintas agama tetap
dapat terpelihara dengan baik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
H
Salim Syamlan di hadapan ratusan umat muslim, ia menambahkan, Kanwil
Kementerian Agama maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali terus mengembangkan
dialog dan memantapkan kerja sama dengan tokoh-tokoh lintas agama, sebagai
upaya memelihara kerukunan antarumat di Bali. Kerukunan antarumat
beragama di Bali sangat kokoh, tidak pernah terjadi masalah yang diwarisi sejak
500 tahun silam itu dan kondisi itu perlu dibina dan dipelihara di
masa-masa mendatang.
BAB
III
KESIMPULAN
Indonesia merupakan salah satu contoh
masyarakat yang multikultural. Multikultural masyarakat Indonesia tidak sauja
kerena keanekaragaman suku, budaya,bahasa, ras tapi juga dalam hal agama. Agama
yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah agama islam, Katolik, protestan,
Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Dari agama-agama tersebut terjadilah perbedaan agama
yang dianut masing-masing masyarakat Indonesia. Dengan perbedaan tersebut
apabila tidak terpelihara dengan baik bisa menimbulkan konflik antar umat beragama
yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu sendiri yang mengajarkan kepada
kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan saling tolong menolong.
Maka dari itulah diperlukan suatu model hubungan antar masyarakat yang berbeda agama yaitu kerukunan hidup antar umat beragama atau toleransi antar umat beragama. Istilah ini dikemukakan oleh mantan Menteri Agama Indonesia tahun 1972. Sebagai sarana pencapaian kehidupan harmonis antar umat beragama yang diselenggarakam dengan segala kearifan dan kebijakan atas nama pemerintah.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa menguarangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Masing-masing pemeluk agama yang baik haruslah hidup rukun dan damai. Karena itu kerukunan antar umat beragama tidak mungkin akan lahir dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak keberagaman dan perasaan orang lain. Tetapi dalam hal ini tidak diartikan bahwa kerukunan hidup antar umat beragama member ruang untuk mencampurkan unsur-unsur tertentu dari agama yang berbeda , sebab hal tersebut akan merusak nilai agama itu sendiriUmat minoritas dapat menikmati kenyamanan ekonomi, sosial, intelektual, dan spiritual dari umat mayoritas (Islam) tanpa lenyap sebagai minoritas.
Sayangnya, dalam satu dasawarsa belakangan ini, Pancasila sering disalahartikan, dipandang sebelah mata, dan terancam oleh ideologi-ideologi transnasional, baik yang berjubah agama maupun ekonomi.
Maka dari itulah diperlukan suatu model hubungan antar masyarakat yang berbeda agama yaitu kerukunan hidup antar umat beragama atau toleransi antar umat beragama. Istilah ini dikemukakan oleh mantan Menteri Agama Indonesia tahun 1972. Sebagai sarana pencapaian kehidupan harmonis antar umat beragama yang diselenggarakam dengan segala kearifan dan kebijakan atas nama pemerintah.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa menguarangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Masing-masing pemeluk agama yang baik haruslah hidup rukun dan damai. Karena itu kerukunan antar umat beragama tidak mungkin akan lahir dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak keberagaman dan perasaan orang lain. Tetapi dalam hal ini tidak diartikan bahwa kerukunan hidup antar umat beragama member ruang untuk mencampurkan unsur-unsur tertentu dari agama yang berbeda , sebab hal tersebut akan merusak nilai agama itu sendiriUmat minoritas dapat menikmati kenyamanan ekonomi, sosial, intelektual, dan spiritual dari umat mayoritas (Islam) tanpa lenyap sebagai minoritas.
Sayangnya, dalam satu dasawarsa belakangan ini, Pancasila sering disalahartikan, dipandang sebelah mata, dan terancam oleh ideologi-ideologi transnasional, baik yang berjubah agama maupun ekonomi.